Analisis Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi: Uji Nyali Yang Mulia

Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja.

“Mari kita sama-sama nantikan Uji Nyali Yang Mulia Hakim MK, ini bukan soal legowo atau tidak legowo, bukan juga soal kemenangan 01, 02 dan 03, tetapi ini soal terceriderainya praktek demokrasi kita.”

REDAKSIINDONESIA.ID – Pemilihan Umum adalah puncak dari proses demokrasi, dimana warga negara berhak untuk menitipkan amanah kepentingan mereka dimasa kini dan masa yang akan datang, karena itu pemimpin yang dipilihnya adalah pemimpin yang dipercaya akan mampu menjaga amanah yang dititipkan kepadanya. Namun sayangnya dibalik hingar bingar demokrasi saat ini bangsa ini masih terjebak pada demokrasi prosedural dan kering substansi, maka wajar jika kita selalu disuguhkan oleh praktik-praktik yang kotor atas nama demkrasi elektoral yang sebenarnya merusak integritas proses demokratis itu sendiri. Sehingga pemilu yang awalnya diharapkan sebagai momentum bagi kemajuan demokrasi, jembatan menuju kesejahteraan bangsa, hanya menjadi akrobat para politisi busuk yang hanya berfikir untuk melanggengkan kekuasaannya sehingga menghalalkan segala cara.

Pemilu 2024 disebutkan oleh beberapa pengamat sebagai pemilu terburuk sepanjang Sejarah Reformasi bahkan ada yang menyebutkan Sepanjang Republik ini mengenal pemilu, mulai dari dugaan penggunaan alat kekuasaan, intimidasi dan ancaman kriminalisasi terhadap Kepala Daerah maupun pejabat tertentu yang tidak mau mendukung calon tertentu. Inilah yang kita sebut sebagai kekerasan politik, intimidasi semacam ini menciptakan iklim ketakutan dan ketidakstabilan yang tidak seharusnya ada dalam sebuah demokrasi yang sehat. Ini tidak hanya menghalangi partisipasi politik yang bebas dan adil, tetapi juga mengancam hak asasi manusia yang mendasar.

Dalam fakta persidangan di Mahkamah Konstitusi beberapa saksi mengkonfirmasi hal tersebut. Maka jika praktik-praktik semacam ini tidak mendapatkan hukuman, tentu akan terus diulang dan diulang dalam setiap gelaran Pemilu Presiden, yang pada giliranya akan menimbulkan keraguan akan keabsahan hasil pemilu dan ketidakpuasan yang berdampak pada ketegangan sosial yang dapat mengganggu stabilitas politik negara.

Edukasi Dirty Vote

Terlepas dari persoalan dan sengkarut yang ada, Pemilu Presiden 2024 telah banyak memberikan kontribusi dalam demokrasi kita, cawe-cawe Presiden yang melahirkan putusan MK Nomor 90/2023 tentang batas usia calon Presiden/Wakil Presiden, dimana Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian memberikan jalan kepada putra mahkotanya menduduki kursi empuk Wakil Presiden. Tayangnya film dokumenter ”Dirty Vote” yang banyak mengulas indikasi praktek kecurangan yang dilakukan penguasa dari hulu sampai ke hilir, kemudian banyak memberikan edukasi  politik bagi masyarakat. Hal yang tidak luput dari perhatian publik lainnya adalah gaya kampanye Calon Presiden Anies Baswedan lewat konsep baru “Desak Anies”, yang kemudian banyak melahirkan gelombang  partisipatif masyarakat, sehingga sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Ali bahwa Anies Baswedan telah mengubah gaya politik mobilisasi menjadi partisipatif. Hal yang terakhir ini tentu menjadi catatan positif bagi bangsa kita dan merupakan catatan penting dalam Sejarah Pemilu Presiden sejak era reformasi di Indonesia.

Bacaan Lainnya
ri

Salah satu fondasi utama dari demokrasi adalah keadilan dalam perlakuan dan akses yang sama terhadap semua kandidat yang bersaing dalam pemilihan umum. Namun ironisnya, dalam Pemilu 2024, kita menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan yang mencoreng proses demokrasi itu sendiri, dimana aparat negara yang seharusnya netral terlibat dalam mendukung kandidat tertentu. Penggunaan Aparatur Negara, termasuk Kepolisian, Militer, Kepala Daerah hingga Kepala Desa dan ASN untuk kepentingan politik tertentu, merupakan contoh klasik dari pelanggaran prinsip demokrasi. Dalam pemilu 2024, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kandidat tertentu sebagaimana yang terkonfirmasi dari fakta-fakta persidangan di Mahkamah Konstitusi terbukti menggunakan aparat negara, untuk memanipulasi proses pemilihan dan memenangkan suara dengan cara yang tidak fair.

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah intervensi aparat kepolisian dalam menekan atau mengintimidasi pemilih yang cenderung tidak sejalan dengan arus kekuasaan. Melalui tindakan-tindakan yang tidak semestinya, seperti penyebaran rasa takut di antara kelompok-kelompok tertentu, dan ancaman kriminalisasi baik terhadap masyarakat, Kepala Desa hingga Kepala Daerah, ini tentu menjadi catatan kelam dalam Sejarah Demokrasi kita.

Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemerintah dalam memberikan bantuan sosial dan sejenisnya dilakukan dengan cara yang diskriminatif. Penggunaan dana pemerintah atau infrastruktur publik untuk kegiatan kampanye tertentu dapat memberikan keuntungan yang tidak adil bagi kandidat yang didukung oleh pemerintah. Bahkan dalam catatan volunter penulis yang beberapa hari jelang Pemilu Presiden bertemu dengan puluhan Kepala Desa di Jawa Tengah menyebutkan bahwa mereka ketakutan kalau sampai di Desanya pasangan tertentu kalah, karena akan berdampak pada nasib dirinya selaku Kepala Desa, hal inilah yang kemudian menimbulkan ketidaknetralan penyelenggara pemerintahan dari Pusat hingga ke Desa atau Kelurahan. Bagi kita tentu ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi dan integritas pemilihan yang demokratis.

Hal ini tentu berbeda praktik dilapangan dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam setiap kesempatan, yang memastikan bahwa proses pemilihan umum adalah adil dan transparan, pemerintah selalu menjaga netralitas aparat negara dan lembaga-lembaga publik serta memastikan bahwa semua kandidat mendapat kesempatan yang sama, sebagai bagian dari demokrasi yang sehat.

Menjaga Konstitusi

Untuk menjaga integritas demokrasi, diperlukan upaya serius dari semua pihak, terkait perlunya penguatan regulasi dan penegakan hukum yang ketat terhadap praktik-praktik kotor ini. Kini benteng terakhir penjaga demokrasi kita adalah Mahkamah Konstitusi, meskipun Marwah MK sebelum Pemilu telah tercoreng oleh tindakan Nir-etik Anwar Usman yang membuka jalan bagi Gibran sekaligus menjadi pembuka bagi sengkarut Pemilu Presiden 2024. Mahkamah Konstitusi saat ini diuji untuk mengembalikan marwahnya  menjadi penjaga konstitusi.

Ekspektasi masyarakat yang bagitu besar terhadap setiap persidangan MK kali ini, termasuk fakta2 persidangan yang semakin membuka tabir gelap Pilpres 2024 mulai dari hulu sampai hilir sudah seharusnya memudahkan Yang Mulia Hakim MK dalam memutuskan perkara, dalil-dalil pemohon baik paslon nomor urut 01 maupun 03 semuanya dapat dibuktikan, dan bukan sekedar “omon-omon”. Menjelang Putusan Mahkamah Konstitusi yang akan dibacakan 22 April mendatang, beberapa pengamat dan ahli juga menyebutkan bahwa gugatan terhadap pencalonan Gibran bukan hanya cacat prosedural administratif tetapi juga tidak sah, maka berdasarkan fakta persidangan sangat mudah bagi Mahkamah Kostitusi memutuskan untuk mendiskualifikasi Gibran sebagai Cawapres. Berbagai argumentasi yang mencoba untuk menguatkan Gibran juga semakin terpojok dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Bahkan matan Ketua MK Hamdan Zoelfa menyebut bukti sudah lebih dari cukup, sebagai orang yang berpengalaman dalam memutuskan sengketa Pilpres, beliau faham mana bukti yang kuat dan mana yang lemah, ini sekaligus menegaskan bahwa  setiap dalil permohonan yang diajukan, baik oleh paslon nomor 01 maupun 03 memiliki dasar hukum dan bukti yang kuat. Hal ini tentu membuat kita yang sedikit waras optimis, bahwa MK akan menyelamatkan demokrasi kita dari tangan besi kekuasaan saat ini. Meskipun kita juga tahu bahwa tidak mudah bagi MK untuk memutuskan sesuatu yang kontra dengan keinginan kekuasaan

Mari kita sama2 saksikan nyali Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, ini bukan soal legowo atau tidak legowo, bukan juga soal kemenangan 01, 02 atau 03, tetapi ini saoal tercederainya praktek demokrasi kita. Mari kita tunggu apakah MK akan mampu menunjukkan kelasnya sebagai Penjaga Konstitusi ataukah akan tetap menjadi Mahkamah Keluarga dan istiqomah “sami’na wa’ato’na” terhadap keinginan Presiden Joko Widodo.

 

Penulis : Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja (Pemerhati Sosial Politik dan Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta,  Wakil Ketua Forum Doktor Sosial Politik Universitas Indonesia, Bendahara Perhimpunan Dosen Peneliti Indonesia,  Direktur Heri Solehudin Center).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *