Sekum Pustara Ajak Seluruh OKP dan Cipayung Plus Cabang se-DKI Jakarta untuk mengawal sengketa GCM

Foto: Azzuhri Rauf Sekertaris Umum HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara.

Redaksi Indonesia – Sekertaris Umum HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara, Azzuhri Rauf merespon hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR RI dengan Kapolda Metro Jaya, Irjen (Pol) Karyoto.

Dalam rapat tersebut, Komisi III meminta pertanggungjawaban Kapolda Metro Jaya untuk menjelaskan keterlibatannya dalam konflik yang terjadi di Apartemen GCM, serta meminta agar institusi kepolisian bersikap netral dan profesional dalam menangani permasalahan tersebut.

Sekertaris umum HMI cabang jakarta pusat-utara mengungkapkan bahwa Sengketa kepengurusan apartemen Graha Cempaka Mas atau GCM seharusnya dapat diselesaikan secara damai dan demokratis sesuai dengan pasal 105 UU No.20 tahun 2011 tentang rumah susun, dimana penyelesaian sengketa diutamakan melalui musyawarah untuk mufakat bukan malah melibatkan pihak lain untuk ikut campur dalam masalah tersebut. Apalagi masala itu sampai dibawa dalam RDP komisi III bersama institusi kepolisian (Kapolda Metro Jaya) karena ada dugaan monopoli dari salah satu pihak yakni PT Duta Pertiwi yang melibatkan beberapa instansi seperti PLN, PAM, dan Pemprov (Gubernur) termasuk Polda metro jaya yang juga dianggap telah melampaui wewenangnya dan cenderung berpihak pada salah satu kepengurusan pengelolaan apartemen.

“Jangan sampai sikap institusi kepolisian yang tidak moderat dalam penyelesaiam masalah apartemen GCM membuat publik mencurigai bahwa Kapolda beserta jajarannya cenderung memihak ke salah satu pihak sehingga justru menghasilkan citra buruk terhadap Kapolda secara khususnya dan institusi kepolisian secara umumnya karena memanfaatkan kewenangannya secara berlebihan dan tidak patuh terhadap konstitusi.” Ungkap Azzuhri Rauf. Minggu, (04/06/2023).

Dalam RDP yang dilaksanakan pada tanggal 23 Mei beberapa hari lalu, telah dijelaskan bahwa keterlibatan pihak kepolisian disebabkan karena ada gangguan yang melibatkan Kamtibmas yang sampai saat ini belum mencapai kata sepakat untuk dilakukan penyelesaian secara musyawarah.

Namun saudara Azzuhri Rauf mempertanyakan urgensi keterlibatan Polda untuk menangani permasalahan dualisme kepengurusan GCM yang dilihat dari beberapa bukti documen dan fakta dilapangan, dimana Polda metro jaya justru dianggap membentengi mafia-mafia yang telah melakukan monopoli dalam apartemen GCM yaitu dugaan sementaranya ialah memback-up PT Duta Pertiwi.

Bacaan Lainnya
ri

“Jika persoalan ini ada kaitannya dengan tindak pidana sehingga Pak Kapolda harus terlibat langsung menangani konflik dualisme kepengurusan tersebut, maka perlu dipertanyakan urgensinya, perlu dipertanyakan apakah kasus tersebut ada pidananya atau tidak, lalu jika iya, maka siapa yang seharusnya dipidanakan?. Jangan sampai institusi kepolisian (Kapolda) memihak kepada salah satu pihak secara berlebihan sehingga mengancam, mengintimidasi, dsb terhadap pihak lain yang melawan pihak yang ditamengi oleh Kapolda tersebut sehingga mengkhianati amanat konstitusi yang ada pada pasal 13 UU No.2 tahun 2002; tentang tugas kepolisian RI yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.” Jelas Sekertaris umum HMI cabang Jakarta Pusat-Utara.

Jika ditinjau dalam catatan historis terjadinya permasalahan apartemen GCM ini dimulai faktor internal dan eksternal yang menyebabkan munculnya dualisme kepengurusan pengelolaan Apartemen GCM sejak tahun 2013. Pengurus pertama diwakili oleh Pihak PT Duta Pertiwi selaku pengelola yang ditunjuk oleh perhimpunan pemilik rumah susun campur (PPRSC) kubu Heri Wijaya. Sedangkan, pengurus kedua diinisiasi oleh Tony Soenanto dan Mayjen (Purn) Saurip Kadi yang membentuk Forum Komunikasi Warga (FKW).

Latar belakangnya dilihat dari UU rumah susun sehingga terbentuk PPRSC GCM SK Gubernur Nomor 1209 Tahun 2000. PPRSC GCM lalu menunjuk badan pengelola yaitu PT Duta Pertiwi sebagai pengelola sejak tahun 2000-2012 untuk mengelola IPL (Iuran Pengelola Lingkungan) ataupun service charge air dan listrik. Kemudian pada tahun 2013 PPRSC GCM mengumumkan rencana kenaikan IPL dan PPN. Sekelompok warga yang tidak setuju atas kenaikan tersebut lalu membentuk FKW tersebut karena dianggap melanggar Ad/Art. Inilah akar permasalan yang menyebabkan dualisme kepengurusan termasuk pengelolaan Iuran warga.

PPRSC GCM ini yang pertama menunjuk PT Duta Pertiwi sebagai pengelola itu membawahi kurang lebih 800 kepala keluarga, sedangkan Tonny Soesanto membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Graha Cempaka Mas (P3SRS GCM) yang membawahi 200 kepala keluarga. P3SRS GCM ini lalu menyebut kedudukan PT Duta Pertiwi sebagai pengelola hak bersama di Apartemen GCM ilegal.

Di sisi lain, Perwakilan PT. Duta Pertiwi Tbk, Satya Dharma, mengatakan 200 penghuni Apartemen Graha Cempaka Mas (GCM) belum membayar tagihan listrik ke pengelola sebesar Rp 40 miliar. Bahkan Satya lantas menyarankan agar dilakukan audit dari kedua pihak.

Secara internal, pecimu konflik ini disebabkan juga karena adanya pemadaman listrik. Dimana pada mulanya PT Duta Pertiwi memungut iuran tagihan listrik pada warga namun pada kenyataannya listrik tidak pernah dibayar kepada PLN. Warga apartemen GCM juga tidak diberikan akses untuk membayar langsung pada pihak PLN dan PAM dan harus melalui PT Duta Pertiwi. Inilah yang menjadi akar permasalan dari 2014 sampai saat ini.

Sedangkan penyebab sengketa ini secara eksternal disebabkan kerena adanya perubahan regulasi terkait pembinaan dan pengurusan apartemen yang disebabkan karena kebutuhan listrik, air, dan kebutuhan dasar lainnya terjadi banyak perubahan dalam kurun waktu tersebut.

Yang pertama Pergub. Nomor 132 tahun 2018 yang belum mengatur soal: apabila terjadi sengketa kepengurusan maka listrik bisa nimatikan atau tidak. Tapi ditahun 2019, Pergub. Nomor 133 mengatakan apabila terjadi konflik dalam kepengurusan maka P3SRS tetap harus melayani dan warga tetap harus membayar. Artinya selama dualisme tidak boleh dimatikan listrik. Yang ketiga, Pergub DKI Jakarta Nomor 70 tahun 2021 diatur lagi regulasi yamg baru mengenai pemutusan kebutuhan dasar tidak boleh dilakukan kecuali ada warga yang lalai untuk membayar.

“Pada prinsipnya kita perlu mempertanyakan arah konflik penyelesaian sengketa yang terjadi pada apartemen GCM. Jika dibiarkan secara terus menerus maka kita wajib mempertanyakan keterlibatan Kapolda, apakah untuk menyelesaikan konflik atau membela salah satu pihak dengan keuntungan-keuntungan yang telah dijanjikan. Ya kemungkinan itu bisa saja terjadi. Takutnya publik malah menilai institusi kepolisian dijadikan sebagai institusi mafia apalagi sampai ada statement mengenai Stete terorism 5 KM dari Istana.”. Jelas Azzuhri Rauf.

Sekertaris umum HMI cabang Jakarta Pusat-Utara menegaskan bahwa tugas aparat kepolisian harusnya tetap netral dan profesional sehingga tidak melampaui wewenang. Bahkan sudah ada statement mengenai state terrorism (negara teroris) itu menunjukkan bahwa institusi kepolisian tentu tidak menjalankan tugas sesuai amanat konstitusi. Bagaimana mungkin publik menganggap bahwa Negara jadi teroris dari kasus apartemen GCM apabila tidak terjadi pelanggaran HAM?. Menurut Azzuhri Rauf, kalimat ini justri merusak institusi kepolisian. Dan Komisi III perlu dimintai pertanggung jawaban nya dalam hal ini karena berkaitan dengan kewenangannya.

“Dalam urusan Kamtibmas, Polda harusnya hanya melakukan mediasi. Namun karena realitas yang ada dilapangkan dan berba menunjukkan bahwa PT Duta Pertiwi melakukan monopoli, dan dibackup oleh Polda metro jaya untuk sewenang-wenang pada warga penghuni, maka hal tersebut membuat publik menganggap bahwa Hukum itu tajam ke lawan, tumpul ke kawan sebagaimana disampaikan oleh salah satu anggota komisi III. Jadi Polda itu kawannya Duta Pertiwi dan lawannya warga penghuni. Kejadian ini seolah menunjukkan bahwa Polda metro jaya bukan malah menguatkan kebenaran tetapi membenarkan yang kuat. Itu justru semakin memperburuk citra kepolisian yang saat ini tingkat elektabilitasnya menurun drastis.” Tegas Sekum HMI Jakpustara.

Diakhir opininya, Azzuhri Rauf menegaskan bahwa mitra komisi III akan gagal menjalankan tugas karena tidak segera menyelesaikan konflik yang terjadi dan terkesan menjadi bagian dari asumsi state terorism dari sengketa apartemen GCM karena institusi negara dipakai untuk kepentingan segelintir orang. Ia juga mengimbau kepada seluruh OKP dan Cipayung Plus Cabang se-DKI Jakarta untuk mengawal persoalan ini.

“Sebagai agen of control, sudah menjadi kewajiban bagi kita (OKP dan Cipayung Plus Cabang se-DKI Jakarta) untuk mengawal sengketa dualisme kepengurusan apartemen GCM karena ada monopoli, perampasan hak, tindakan yang melampaui konstitusi, dan lain sebagainya yang tidak demokratis dan manusiawi. Karena itu dalam waktu dekat harus ada konsolidasi dan segera menyambangi Mabes Polri untuk meminta kepada Bapak Listyo sigit Pranowo memanggil dan mengevaluasi Kapolda Metro Jaya, bahkan mencopot apabila terbukti bersalah secara hukum, dan juga menyebabkan asumsi publik yang menganggap negara ini sebagai state terorism. Dan ini sangat berbahaya bagi keamanan dan persatuan berbangsa dan bernegara.” Tutup Azzuhri Rauf.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *