Tanggapi Isu Pulau Pasir, Milenial Indonesia Adakan Webinar

Foto: Tangkap layar diskusi webinar Milenial Indonesia.(ist)

Redaksi Indonesia – Setelah sempat cukup lama tidak terdengar, isu sengketa Pulau Pasir kembali mencuat di tengah publik.

Berita yang beredar di masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir sangat banyak nelayan-nelayan Indonesia yang ditangkap dan ditenggelamkan kapalnya oleh pihak Australia.

Berita ini membuat masyarakat Indonesia marah dan kecewa atas tindakan sepihak Australia ini.

Masalah ini kemudian membuat perhatian masyarakat Indonesia Kembali tertuju pada kebenaran dibalik klaim Australia atas kepemilikan Pulau Pasir.

Menindak lanjuti permasalahan ini, Milenial Indonesia mencoba melakukan kajian dan diskusi secara online dalam Webinar yang bertajuk Bagaimana Status yang Sebenarnya? Sengketa Pulau Pasir.

Dalam webinar ini, Milenial Indonesia menghadirkan empat orang narasumber yakni Hanifa Sutisna (Pengamat Ekopol), Wawan H. Purwanto (Pakar Intelijen), Connie Rahakundini (Pengamat Pertahanan) dan Ferdi Tanoni (Ketua YPTB).

Bacaan Lainnya
ri

Webinar ini dibuka langsung oleh Sureza Sulaiman selaku Ketua Milenial Indonesia.

Dalam pengantarnya Sureza Sulaiman menyampaikan bagaimana besar dampak masalah ini bagi bangsa Indonesia.

Sureza menyebutkan bahwa ”Masalah Pulau Pasir ini harus menjadi perhatian utama pemerintah, karena dampaknya begitu besar bagi bangsa ini dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi, pertahanan, lingkungan, sosial kemanusiaan, adat dan kebudayaan serta kedaulatan maritim Indonesia”.

Selain itu Sureza juga menambahkan bahwa cara pemerintah menangani masalah Pulau Pasir ini akan menggambarkan keseriusan sikap pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan maritim NKRI.

Kemudian diskusi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Wawan H. Purwanto selaku pakar intelijen.

Dalam sesinya, Wawan menjelaskan bahwa hukum modern menganut konsep Usi Possidetis yang mana negara baru merdeka mewariskan wilayah yang dikuasai bekas penjajahnya.

Untuk itu berdasarkan hukum ini, Pulau Pasir yang merupakan bekas wilayah Inggris dan tidak pernah diklaim Belanda menjadi milik Australia sebagai bekas koloni Inggris. Lebih lanjut, Ia menyampaikan bahwa ”masalah ini harus diselesaikan dengan diplomasi yang baik agar dapat menghasilkan win-win solution baik bagi masyarakat NTT, Pemerintah Indonesia, maupun Australia”.

Diskusi dilanjutkan kepada pembicara kedua yakni, Connie Rahakundini yang merupakan pengamat pertahanan.

Connie memulai sesinya dengan tanggapannya atas Kementerian Luar Negeri RI yang menurutnya terlalu cepat dalam menyatakan bahwa Pulau Pasir adalah milik Australia.

Ia mengingatkan bahwa M. Yamin dalam Sidang BPUPKI menyatakan bahwa seluruh bekas wilayah kerajaan, kesultaan serta bekas jajahan Belanda secara keseluruhan menjadi wilayah Indonesia.

Ia kemudian juga menegaskan bahwa penyelesaian masalah ini hanya dapat dilakukan dengan menyajikan bukti-bukti yang kuat berupa arsip-arsip yang secara jelas memuat sejarah pulau pasir dan kaitannya dengan kepemilikan Indonesia.

Untuk itu ”walaupun kita memiliki nasionalisme yang sangat tinggi, patriotisme yang harus kuat, namun kekuatan akal sehat dan data itu sangat penting” demi penyelesaian sengketa ini, tutup Connie dalam sesi diskusinya.

Narasumber berikutnya ialah Ferdi Tanoni yang merupakan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) sekaligus Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor. Ferdi Tanoni sendiri sejak lama sudah melakukan advokasi terhadap permasalahan ini.

Dalam sesinya, Ia menegaskan Kembali bahwa Pulau Pasir adalah milik Bangsa Indonesia, lebih khususnya milik Masyarakat Adat Laut Timor. Ia juga sangat menyayangkan sikap pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif yang tidak responsif dan sangat lambat dalam penyelesaian masalah ini.

Ferdi menjelaskan bahwa satu-satunya landasan hukum yang mendasari kepemilikan Australia atas Pulau Pasir adalah MoU bilateral 1974 antara Indonesia dan Australia.

Menurutnya, perjanjian ini harus segara dibatalkan agar Indonesia, khususnya masyarakat NTT bisa mendapatkan kembali hak atas Pulau Pasir. ”Kementerian Luar Negeri harus menegakkan Hukum Laut Internasional II Tahun 1982 agar Australia tidak berlaku sewenang-wenang kepada masyarakat NTT yang sejak awal sudah ada di Pulau Pasir” tutup Ferdi Tanoni.

Narasumber keempat sekaligus yang terakhir dalam webinar ini adalah Hanifa Sutisna selaku pengamat ekopol.

Dalam pemaparannya, Hanifa lebih menyorot pada nilai penting Pulau Pasir dalam bidang ekonomi, politik dan pertahanan negara. Dalam bidang ekonomi menurut hanifa tentunya Pulau Pasir ini menyediakan banyak sekali potensi ekonomi yang melimpah utamanya dengan ditemukannya sumber gas alam dan minyak bumi di Pulau Pasir ini.

Kemudian ia juga menyampaikan bahwa untuk kekuatan pertahanan, ”saya sangat yakin bahwa Pulau Pasir ini menjadi essential island yang harus dipertahankan oleh negara”.

Untuk itu Hanifa menyerukan kepada Milenial Indonesia untuk tidak hanya berhenti pada webinar ini, namun terus mengadvokasi permasalahan ke tahap yang lebih lanjut. Lebih khusus, Ia menyarankan Milenial Indonesia agar mendesak DPR RI Komisi untuk melakukan rapat dengar pendapat terkait permasalahan ini. (Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *