PT. EBH Diduga Melakukan Penyerobotan 4 Hektar Lahan, Ahli Waris Tuntut Keadilan

Redaksi Indonesia – Dugaan penyerobotan lahan oleh perusahaan tambang batu bara kembali terjadi. Kali ini terjadi di Jalan Kampung Dingin Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Lahan yang diduga diserobot oleh PT. Energi Batu Hitam (EBH) itu seluas 4 hektar. Kuasa hukum korban penyerobotan, Miartico Gea, mengatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah waris milik kliennya dan sebagian adalah tanah adat.

“Sudah dinyatakan menang oleh lembaga adat besar Kabupaten Kutai Barat (oleh pihak ahli waris Bapak Daud Wellys Muting), pada tahun 2020,” kata Miartico saat diwawancarai, Kamis (29/9).

Namun demikian, lanjut Miartico, perusahaan tetap beroperasi meskipun lembaga adat Kutai Barat telah memenangkan kliennya. Hingga saat ini kliennya terus berjuang untuk mendapat keadilan dan menuntut ganti rugi dari perusahaan.

“Ada juga dugaan penyerobotan lahan oleh PT. EBH ini melibatkan perlindungan aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah setempat,” tutur Miartico.

Sementara itu ahli waris pemilik lahan, Frankolai, menegaskan bahwa sengketa lahan dengan PT. EBH terjadi sejak 13 tahun silam, tepatnya pada tahun 2008, saat perusahaan masuk wilayah tersebut dan melakukan sosialisasi.

Bacaan Lainnya
ri

“Tanah yang diserobot ini milik nenek moyang saya. Kakek kami dulu Kepala Desa sebelum ada pemekaran Kutai Barat, diceritakan tanah yang saat ini diserobot PT. EBH ini diwariskan secara turun temurun. Saya sebagai anak diperintah untuk mencari keadilan,” ungkapnya.

Frankolai mengaku dirinya sudah melakukan perlawanan lewat jalur hukum dan bahkan mengingatkan perusahaan secara langsung saat sosialisasi. Namun demikian PT. EBH tidak mengindahkan tuntutannya dan tetap melakukan penambangan.

“Perusahaan membuat surat dengan melakukan pengukuran terlebih dahulu. Sehingga membuat posisi kami sebagai ahli waris tidak kuat secara hukum, karena memang lahan yang diserobot ini tidak bersurat dan terdaftar di BPN dan hanya diwariskan secara turun temurun, bahkan sebelum ada Kutai Barat,” terangnya.

Menurut Frankolai, pihaknya sudah menang di lembaga hukum adat dan diberikan surat keterangan adat atas kepemilikan lahan tersebut. Perusahan juga sempat meminta maaf atas penyerobotan yang dilakukan, namun tetap saja melakukan aktivitas tambang.

“Kami minta tanggung jawab perusahaan untuk melaksanakan ganti rugi atas kerusakan yang telah dibuat. Kalau tidak mampu untuk ganti rugi, silahkan angkat kaki. Ini menyangkut harga diri, karena kami sudah menang dalam perkara hukum adat pada tahun 2020,” tegasnya.

Untuk langkah selanjutnya, Frankolai ingin menuntut keadilan dengan mengirimkan surat pengaduan kepada Presiden Jokowi melalui Kantor Staf Presiden (KSP RI). Berharap kasus penyerobotan lahan oleh PT EBH dapat penanganan serius sesuai janji Presiden yang ingin menindak tegas perusahaan tambamg nakal.

“Di lembaga adat Kutai Barat kan kami menang, perusahaan dituntut ganti rugi per 1 meter persegi sebesar Rp. 250.000, 1 hektarnya sekitar Rp. 2,5 miliar dan itu sudah termasuk denda adat. Kalau perusahaan ada itikad baik, bukan menunda-munanda,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *