Refleksi Sejarah Ekploitasi Timah di Bangka Belitung dalam rangka menyikapi persoalan Kebijakan Pelarangan di Ekspor Timah di Akhir 2022

Redaksiindonesia.id – Kebijakan stop ekspor timah baru-baru ini sedang menjadi perdebatan. dimana ada kubu menolak yang yang mengatakan bahwa banyak masyarakat yang akan terdapak secara ekonomi apabila adanya larangan ekspor ada juga yang setuju dengan alasan lingkungan serta cadangan timah masa depan yang harus dikontrol. Untuk perlu meninjau itu secara bijak maka perlu adanya pembahasan khusus terkait kebijakan ini dengan tinjauan sejarah.

Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun dengan jumlah cadangan timah dalam bumi yang cukup besar. Cadangan timah ini sebagai sumber daya alam, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800km yang dikenal sebagai The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini dapat dikatakan sebagai bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih dari 3000km dari daratan Asia kea rah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.

Indonesia memiliki wilayah cadangan timah mecakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, gian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus kea rah selatan yaitu pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan.

Bangka Belitung sebagai negara penghasil timah telah dikenal sejak tahun 1700-an. Banyak versi yang membahas penemuan timah di wilayah Bangka Belitung seperti pada Versi tahun 1707 Bangka memiliki Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang untuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran.

Versi tahun 1709 Orang yang di anggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang Johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang Versi tahun 1711 Pada tahun ini juga disebutkan bahwa adanya kedatangan seorang Cina bernama Oen Asing ( Boen Asiong ) yang melakukan penambangan timah di Kampung Belo Men melakukan berbagai tok, orang ini pula yang macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah, memperkenalkan penambangan timah dengan penggunaan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah Orang-orang Johor dan Siantan. Dengan ditemukannya timah (sekitar tahun 1710) mulailah Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari seluruh Asia dan Eropa. Bukti adanya orang Johor dan Siantan ini adalah keberadaan makam bangsawan Melayu di Mentok.

Perusahaan penggali timah pun sangat maju, sultan Palembang mengirim orang dan negeri Tiongkok untuk mencari tenaga orang ke Semenanjung tenaga ahli. Pada tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anom Kamaruddin dari palembang untuk membeli timah secara monopoli. Dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi: Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni. Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan. VOC mulai melakukan kecurangan dan pelangaran janji yang menyebabkan ketegangan dan sikap permusuhan.

Bacaan Lainnya
ri

Pada tahun 1811 dalam masa pertukaran kekuasaan dari Belanda ke tangan Inggris Sultan Mahmud Badarudin mengadakan serangan terhadap kantor VOC yang berdada di Palembang dan semua orang VOC mati terbunuh. Hal ini mengakibatkan Inggris mengadakan pembalasan dan menangkap dan membunuh Sultan Badaruddin. Sebagai gantinya diangkatlah putranya, Najamuddin yang kemudian dipaksa menyerahkan Pulau Bangka Belitung kepada Inggris (1812). Dengan itu berakhirlah kekuasaan Belitung. Kerajaan Palembang di Kepulauan Bangka Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1803), Bangka merupakan pemasok timah terbesar di Asia.

Teknologi penambangan timah yang dibawa oleh orang Tionghoa, membuat produksi timah bertorang ambah tinggi. Penjualan kepada VOC rata-rata 20.000 pikul/tahun (1 pikul = 62,5 Kg). Sejalan dengan majunya teknologi penambangan dan bertambahnya permintaan pasar, bertambah banyak pula produksi timah dari Bangka. Beberapa kota yang dibangun oleh koloni misalnya Mentok, Sungai enambang timah, Liat, dan Toboali. Kota-kota ini dapat dikatakan merupakan kota tua yang dibangun oleh penambang penambang Tionghoa. Setelah timah ditemukan pada abad ke- 17, membuat Bangka mendapatkan kekayaan dan terkenal sebagai penghasil Timah terbesar di Indonesia. Sekarang meski masih ditambang namun tidak sebanyak seperti dahulu.

Aktivitas penambangan timah yang lebih banyak dilakukan di Bangka-Belitung dan Singkep. Dari sejumlah Pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan Pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan Pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di Pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha. Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT. Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha. Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional (TI) yang menambang tersebar di darat dan laut Bangka-Belitung.

Tingkat produksi timah Indonesia sejak tahun 1957 menunjukkan kemerosotan yang mengejutkan di tahun 1950. Pada tahun 1963 penurunan itu sangat mencolok, dimana produksi yang dicapai hanya 12.947 ton, atau 36% dari produk si tahun 1954 yang berjumlah 35.861 ton. Padahal antara tahun 1950 sampai tahun 1960, Indonesia menempati ranking kedua dalam produksi timah dunia. ada beberapa faktor yang mempengaruhi merosotnya produksi timah, antara lain seperti Turunnya kadar kekayaan cadangan yang terse Kapal keruk yang rata-rata berumur tua Kekurangan tenaga ahli kapal-kapal keruk Tenaga kerja baru belum berpengalaman Kekurangan suku cadang dan devisa Dalam perkembangannya, penggunaan logam timah dunia pada tahun 2000an, sekitar 254.000 ton. 90% produksi timah ini berasal dari kawasan Asia (Tiongkok, Indonesia, Malaysia dan Thailand), Australia, Amerika Latin (Brazil, Peru, Bolivia). Sisanya sekitar 10% berasal dari Afrika, Eropa Timur, Eropa Barat dan Ameriak Serikat. Sejak tahun 2000, tercatat ke naikan nilai produksi tambang timah skala kecil di Tiongkok dan Indonesia (TI).

Namun, Cadangan timah Indonesia memang semakin menipis. Dalam laporan US Geological Survey tahun 2009, cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar 11 juta ton. Jika dikomparasikan dengan empat negara terbesar di dunia negara penghasil timah, cadangan timah Indonesia saat ini dalah yang paling sedikit. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengamankan produksi, menyediakan cadangan masa depan, sekaligus menggunakannya untuk mengendalikan harga.

Salah satu yang penting adalah membatasi dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun, misalnya 75.000 ton per tahun. Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri. Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya timah dengan pengaturan regulasi.

Berkaca dari sejarah panjang eksploitasi timah yang dilakukan dari abad ke 17 hingga sekarang. Pemerintah harus menetapkan suatu kebijakan yang tepat. Walaupun Merujuk kepada data Kementerian ESDM, dari penerimaan royalti timah Rp 1,17 triliun, sebanyak 35% atau sebesar Rp 395,8 miliar disumbang oleh PT Timah Tbk (TINS), Tahun ini sepertinya royalti akan melesat lantaran rata-rata harga timah di tahun ini mencapai US$41.256 per ton. Angka tersebut melonjak 36,60% dibanding 2021, yakni US$30.207 per ton. Akan bertambah besar, jika tarif royalti yang kini 3% berubah dari tarif flat menjadi tarif progresif. Yang artinya penerimaan negara terpangkas habis jika pemerintah menyetop ekspor.

Namun, dengan cadangan timah yang minim yakni hanya 800.000 ton, dengan target produksi rata-rata sama dengan tahun ini sebesar 70.000 ton maka dalam tempo 11,4 tahun akan habis. 

Bukan mustahil, jika ini terjadi maka Indonesia akan menjadi importir timah dan akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Ini kemudian menjadi paradoks dimana Indonesia yang sejak abad ke 17 telah Berjaya dengan timahnya malah akan bermasalah dengan timahnya.

Oleh : Achmad Fathullah

 

Refrensi : Swastiwi, Anatasia wiwik, dkk. Lintas Sejarah Perdagangan Timah di Bangka-Belitung abad ke19-20 (2017)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *