Membaca Pesan Moral Dari Sinergitas BNPT, KPK dan BNN Soal Deradikalisasi di Indonesia

Redaksiindonesia.id – Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia dan juga Indonesia memberikan dampak yang cukup hebat pada segala sektor kehidupan manusia. Ekonomi dan kesehatan global menjadi dua sektor kehidupan manusia yang paling terdampak cukup parah. Dua sektor ini bisa dibilang menjadi concern global hingga saat ini. Segala daya upaya telah dikerahkan oleh para pemimpin dunia untuk mengatasi persoalan serius ini. Hal itu bisa dilihat dari pelbagai kebijakan yang dibuat seperti : penerapan protokol kesehatan, pembatasan sosial, vaksinasi hingga stimulus ekonomi.

Penyelamatan terhadap sektor kesehatan dan ekonomi memang sangat penting dalam kondisi sulit seperti ini. Namun satu hal yang tak kalah pentingnya adalah—problem psikososial yang dipicu oleh Pandemi yang membatasi eksistensi manusia. Selama Pandemi ini manusia di pelbagai belahan dunia ‘terpaksa’ harus mengevolusi cara bereksistensinya. Demi menghindari paparan Virus, Interaksi langsung tak lagi dianjurkan, namun yang lebih ditekankan adalah interaksi via media sosial.

Selama Pandemi ini, aktivitas manusia lebih banyak dikerahkan ke dalam dunia digital (medsos). Sebut saja aktivitas manusia seperti belajar, bisnis, konsultasi hukum, budaya, agama, sosial dan sebagainya kini lebih sering ditampilkan secara virtual. Perkembangan teknologi informasi dunia memang memberikan berjuta manfaat bagi kehidupan manusia, namun faktanya—hal-hal yang mendatangkan mudharat (kerugian) seperti terorisme, peredaran narkoba hingga korupsi—turut menyelinap masuk di tengah arus informasi yang mengalir deras di dalam media sosial itu sendiri.

Terorisme, Narkoba, dan Korupsi

Terorisme, peredaran narkoba dan korupsi disepakati global sebagai kejahatan transnasional atau lintas negara. Ketiganya berkait erat untuk mendukung tindak kejahatan yang lebih terstruktur, sistematis dan masif. Kita ambil contoh Narco-terrorism atau aksi terorisme yang disokong oleh perdagangan gelap narkotika. Praktik jahat ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga cukup masif berkembang di belahan negara lain.

Begitu juga dengan terorisme dan korupsi. Dua variabel kejahatan ini telah berkelindan satu sama lain. Implikasi logis yang dihasilkan praktik korupsi adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial—yang pada akhirnya memicu lahirnya tindak radikalisme dan terorisme. Di Indonesia, tak sedikit kasus radikalisme dan terorisme yang dipicu karena kondisi ketimpangan sosial atau kemiskinan. Para bomber atau pelaku bom bunuh diri tak semata-mata digerakan oleh suatu ideologi teror tertentu, melainkan juga karena iming-iming Rupiah dalam nilai yang cukup besar.

Bacaan Lainnya
ri

Era VUCA

VUCA adalah sebuah akronim dari Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity. Secara historis, istilah ini muncul dalam teori kepemimpinan Warren Bennis dan Burt Nanus pada tahun 1987. Istilah ini kemudian digunakan dalam pelatihan kepemimpinan militer di US Army War College untuk menggambarkan situasi politik-keamanan yang berubah cepat di era 1990-an pasca keruntuhan Soviet hingga Perang Teluk.

Volatility artinya Dunia berubah cepat, bergejolak, tidak stabil, dan tak terduga. Tidak ada yang dapat memprediksi bahwa 2020 akan menjadi tahun paling buruk bagi hampir semua sektor di dunia. Uncertainty artinya Masa depan penuh dengan ketidakpastian. Sejarah dan pengalaman masa lalu tidak lagi relevan memprediksi probabilitas dan sesuatu yang akan terjadi. Complexity artinya Dunia modern lebih kompleks dari sebelumnya. Masalah dan akibat lebih berlapis, berjalin berkelindan, dan saling mempengaruhi. Situasi eksternal yang dihadapi para pemimpin semakin rumit. Ambiguity artinya Lingkungan manusia semakin membingungkan, tidak jelas, dan sulit dipahami. Setiap situasi dapat menimbulkan banyak penafsiran dan persepsi.

Radikalisme dan terorisme Sebagai Tantangan Nasional

Di era VUCA ini, tantangan melawan problem yang dihadapi bangsa seperti terorisme, narkoba dan korupsi—membutuhkan kolaborasi atau sinergi dari seluruh elemen bangsa. Dalam hal ini yang menjadi Avant Garde adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Dewasa ini eksistensi lembaga-lembaga tersebut memainkan peanan penting di Era VUCA. Terlebih situasi Pandemi Covid-19 telah membuat era ini menjadi semakin masif. Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar dalam suatu kesempatan (Bali/24/11) menegaskan bahwa sinergitas antar lembaga yang dimaksud harus diperkuat demi menyelamatkan generasi muda dari degradasi moral yang dipicu oleh penyalahgunaan narkotika, praktik korupsi dan juga terorisme.

Potensi ancaman bagi bangsa dan negara yang dipicu oleh tiga kejahatan yang dimaksud sangatlah nyata saat ini. Peran tiga lembaga negara seperti BNPT, BNN dan KPK tak cukup bila tidak diimbangi dengan dukungan penuh dari masyarakat luas. Kolaborasi antar lembaga bersama masyarakat sangatlah diperlukan guna mengantisipasi atau mencegah hal-hal yang tak diinginkan.

Problem utama yang menjadi fokus atau kajian dari tiga lembaga negara tersebut adalah soal moral generasi muda Indonesia yang musti diselamatkan dari ancaman radikalisme dan terorisme—yang dipicu oleh ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh praktik Korupsi dan sokongan finansial yang kuat dari para bandar narkotika.

Namun dalam tulisan ini penulis berpendapat bahwa persoalan doktrinasi atau upaya-upaya infiltrasi yang dilakukan oleh kelompok teroris terhadap generasi muda sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan Pandemi Covid-19. Kondisi-kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikalis dan teroris untuk mentransmisi ajaran radikalisme dan terorisme kepada kelompok yang paling rentan terpapar, yakni : Generasi Z.

Hal senada juga dipertegas oleh Kepala BNPT Boy Rafli Amar. Kemajuan teknologi menurutnya memberikan kontribusi meningkatnya aktivitas terorisme khususnya di Indonesia. Proses radikalisasi, perekrutan, hingga pendanaan terorisme dapat dilakukan melalui internet. Dan fenomena ini yang kemudian diduga kuat melatari pemboman Mabes Polri oleh seorang perempuan muda.

Di era VUCA ini sulit memastikan bahwa masyarakat memiliki imun atau daya tahan yang kuat dari upaya infiltrasi ideologi radikal dan teror. Generasi Muda, dalam hal ini Generasi Z—menjadi lapisan sosial yang paling rentan terpapar. Dengan demikian dibutuhkan sejumlah aturan dan fasilitas agar potensi-potensi buruk yang dialami Generasi Z lebih mudah untuk dicegah atau diantisipasi.

Kontra Hegemoni Atas Radikalisme dan Terorisme

Terorisme dominan dipahami sebagai kekerasan berbasis ideologi dan politik. Tujuan utamanya adalah mengganggu keamanan masyarakat. Dan medium yang paling dominan digunakan oleh kelompok teror adalah media sosial. Di dalam media sosial inilah narasi-narasi yang berlatar belakang agama disusupi untuk mempengaruhi atau menghegemoni generasi muda (Gen-Z). Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan upaya Deradikalisasi atau Kontra Radikalisasi oleh segenap Stake Holders yang dimiliki negara serta keterlibatan aktif masyarakat.

Pendidikan—dalam kajian Boy Rafli Amar adalah faktor determinan yang mampu mengantisipasi perkembangan terorisme dan radikalisme di Indonesia. Lembaga Pendidikan dituntut mampu meningkatkan Kemampuan Literasi Generasi Muda agar terhindar dari pengaruh buruk teroris dan radikalis. Persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini, khususnya generasi muda—masih menganggap narasi yang disusun oleh kelompok teroris sebagai sebuah kebenaran.

Perbedaan persepsi barat dan Timur—Pandangan Barat atas kebebasan berbicara dan berekspresi tak selalu relevan dengan situasi yang dihadapi bangsa Indonesia. Pemahaman ala barat yang cenderung menganggap narasi seperti yang dibangun oleh kelompok teroris dan radikalis adalah ekspresi sosial yang harus diakomodir dan dihormati. Namun hal itu tak paralel dengan apa yang dialami bangsa Indonesia. Tak sedikit generasi muda yang terpapar oleh radikalisme dan terorisme yang turut menjadi bagian dari serangkaian aksi teror brutal yang mendegradasikan tatanan sosial yang mapan.

Pembinaan atau Pengaturan Etika—dalam bersosial media adalah langkah lain yang harus diperjuangkan bersama. Hal ini ditujukan agar generasi muda tidak mudah didominasi oleh narasi-narasi buruk yang diproduksi teroris dan radikalis. Adanya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di suatu sisi adalah upaya Pemerintah untuk memberikan garansi kepada masyarakat agar tidak terjerumus dalam radikalisme dan terorisme.

Membentuk Duta Damai—di kalangan anak muda Indonesia adalah bagian dari proses pembinaan lainnya yang bisa diupayakan. Mereka harus dilibatkan sebagai duta kedamaian yang bertujuan untuk merawat ingatan keindonesiaan di kalangan anak-anak muda. Dengan kreatifitas dan tenaga lebih yang mereka miliki, anak-anak muda mampu menjadi pionir untuk melakukan kontra hegemoni melalui sejumlah program seperti lomba orasi pancasila, mengarang pantun dan puisi kebangsaan, dan masih banyak lagi yang bisa mereka kreasi.

Kesimpulan

Radikalisme dan Terorisme di Indonesia mendapatkan ruang yang semakin besar bila Korupsi dan Narkotika tidak bisa diantisipasi sebarannya. Sinergitas yang dilakukan BNPT, KPK dan BNN adalah upaya untuk mencegah hal-hal yang menciderai moral generasi penerus. Di Era VUCA ini hal-hal itu menjadi kian tidak pasti, rumit dan sulit untuk diurai. Namun bukan berarti kita harus berpangku tangan. Kita harus menjadi bagian aktif sebagaimana stake holders yang dibuat Negara untuk mengurai dan mengantisipasi persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia. Kita harus Percaya, bahwa kita bisa menang melawan radikalisme dan terorisme.

Tulisan ini disusun oleh Dinal Gusti dan Deni Wahyudi. Mereka adalah Pegiat Gagas Nusantara dan Lentera Studi Pemuda Indonesia (LSPI). Tinggal di Bogor dan Depok.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *