Meng-NU-Kan Lembaga Negara, Sebuah Sikap “Etnosentrisme”, (Tanggapan Atas Pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas)

Oleh: 

Alkahfi Abdullah

– Pembentukan Kementerian Agama di Indonesia telah melalui serangkaian sejarah panjang, melibatkan pemikiran tokoh-tokoh islam dari berbagai macam kalangan. Jika ada yang mengkaim bahwa Kemenag sebagai hadiah negara pada kelompok islam tertentu, maka itu adalah pernyataan yang arogan, etnosentris dan pemahaman sejarahnya harus dikoreksi –

Mencermati perkembangan isu-isu kontroversial di masa pandemi ini, semakin jelas bagi kita tentang adanya kontradiksi antara cita-cita dan harapan. Kita semakin sadar bahwa perilaku atau pernyataan seorang pemimpin tak selamanya membentuk keteraturan sosial dan justru sebaiknya menyebabkan kegaduhan. Fenomena ini barang kali bukanlah topik yang menyenangkan untuk dibicarakan, namun hal tersebut menjadi penting di masa-masa ini. Mengingat berbagai kegaduhan yang terjadi di negeri ini, sering sekali dilatarbelakangi oleh pernyataan arogansi dari pejabat negara yang suka “memaksakan kehendak”.

Fenomena etnosentris atau etnosentrisme sering terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat,  bahkan dalam suatu lembaga negara sekalipun. Apa itu etnosentris? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etnosentris diartikan sebagai sikap yang berlandaskan pada kelompok atau kebudayaannya sendiri. Dalam kajian ilmu sosial, etnosentrisme didefinisikan agak lebih keras yakni suatu egoisme kultural, dimana sebuah komunitas menganggap dirinya paling superior diantara yang lain. Blubaugh dan Pennington (1976) menyatakan bahwa “Etnosentrisme adalah akar rasisme”. Karena etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar  atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.

Baru-baru ini, pernyataan yang menjurus ke sikap etnosentris kembali terjadi dan memicu kegaduhan. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas atau akrab disapa Gus Yaqut kembali mengeluarkan pernyatan kontroversial. Kali ini, ia berbicara soal asal-usul pembentukan Kemenag pada awal kemerdekaan RI yang disebut merupakan hadiah negara untuk Nahdlatul Ulama (NU). Pernyataan tersebut mendapat sorotan dan kecaman keras dari berbagai kalangan termasuk dari internal PBNU sendiri.

Bacaan Lainnya
ri

Pernyataan Gus Yaqut mencerminkan gaya kemimpinan yang cenderung bersikap etnosentristik yang tidak boleh berkembang pada iklim demokrasi. Pernyataan tersebut memuat pesan politik yang sangat tendensius, bahwa hanya NU yang berhak untuk menjabat sebagai Menteri Agama sementara kelompok lain hanya pelengkap dan bagian yang diatur. Padahal, pada sistem politik demokrasi, tugas menjadi pemimpin adalah merupakan tugas menunaikan amanat publik (bukan kelompok tertentu) pada setiap tingkatan kepemimpinan, baik pemimpin nasional ataupun pada tingkat lokal, bahkan pada tingkat lembaga negara sekalipun.

Jika menelisik jejak historisnya, pembentukan Kementerian Agama di Indonesia telah melalui serangkaian sejarah panjang dengan melibatkan pemikiran tokoh-tokoh islam dari berbagai macam kalangan. Mengutip pernyataan Arsul Sani (Wakil Ketua MPR RI), Nahdlatul Ulama memang berperan dalam pembentukan Kementerian Agama. Namun begitu, NU bukan satu-satunya. Masih banyak elemen lain yang turut andil. Dalam masa lima tahun pertama kemerdekaan, jabatan Menag pasca pembentukan Kemenag secara resmi memang berasal dari sejumlah kelompok umat Islam yang berbeda. Ia menyebutkan ada yang berasal dari Muhammadiyah, NU, Syarikat Islam, hingga tokoh Aceh.  Ini semua menunjukkan bahwa Kemenag itu berdiri berkat perjuangan tokoh-tokoh Islam lintas unsur dan kemudian jadi keputusan bersama dengan tokoh-tokoh nasionalis. Tentu NU punya peran, tetapi bukan satu-satunya yang berperan dalam pembentukan Kemenag,” (Baca: Respons Pernyataan Gus Yaqut, MPR: NU Berperan Bentuk Kemenag, Tapi Bukan Satu-satunya).

Meski PBNU membantah bahwa pernyataan kontroversial tersebut merupakan hak peribadi dan tidak mewakili NU, namun kita juga tidak bisa pungkiri bahwa dalam diri Gus Yaqut melekat jabatan sebagai Menag dan sebagai orang yang menjadi bagian penting dari NU. Dalam perspektif esensialisme, sebuah kata-kata memiliki acuan tetap dalam mencerminkan identitas esensial yang melandasi seseorang. Jadi, dapat dikatakan pernyataan Gus Yaqut tidak bersifat peribadi, melainkan mewakili identitasnya sebagai Kemenag dan NU sekaligus.

Inkonsistensi Gus Yaqut; “Menteri Semua Agama” atau “Menteri Untuk NU”

Salah satu tugas terberat pemimpin bangsa ini adalah bersikap konsisten, yakni menyesuaikan antara pernyataan dengan tindakan. Kepemimpinan yang dibangun atas kekuatan berpikir dengan dilandasai oleh kekuatan moral berarti ia memiliki “Integritas”. Di dalam integritas terkandung makna konsistensi antara tindakan dan nilai, sehingga tabeat pemimpin selalau mengedepankan profesionalitas dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk melayani masyarakat.

Semenjak dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Agama, dalam sebuah pidatonya, Gus Yaqut menyampaikan beberapa gebrakan yang akan ia lakukan selama menjadi memimpin Kementerian Agama yaitu mengembalikan fungsi agama sebagaimana mestinya, yakni agama sebagai sumber kedamaian yang memiliki sifat mendamaikan setiap konflik yang ada. Dengan tegas ia menolak agama sebagai sumber konflik, maupun perpecahan. Gus Yaqut menegaskan komitmennya untuk menjadi menteri bagi semua agama, maka tidak boleh ada perbedaan perlakuan dan diskriminasi bagi semua agama di Indonesia.

Komitmen Gus Yaqut menjadi “Menteri Semua Agama” sepatutnya kita apreasiasi. Meski terdengar normatif, namun ini adalah pernyataan yang didasarkan pada konstitusi. Di sisi lain, Indonesia juga memiliki enam agama yang terdaftar, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, dan semuanya harus mendapatkan pelayanan dari Kementerian Agama. Bahkan seluruh keyakinan dan kepercayaan yang hidup di negeri ini seharusnya juga mendapatkan pelayanan sebagaimana pelayanan yang didapatkan oleh agama-agama yang terdaftar tadi.

Namun, apakah slogan “Menteri Semua Agama” masih relevan disematkan pada Gus Yaqut di tengah kegaduhan yang ia buat? Tentu sudah tidak relevan. Sebab, ujian konsistensi Gus Yaqut baru saja telah selesai dan dinyatakan tidak lolos alias gagal. Rumusnya sangat sederhana, menguji konsistensi pemimpin dengan menelanjangi rekam jejaknya, yakni apa yang menjadi komitmen kemarin harus tetap menjadi sebuah patokan untuk bertindak baik sekarang, esok maupun di masa yang akan datang. 

Hari ini, kita menyaksikan sikap inkonsistensi dari pimpinan salah satu lembaga negara yang pernah mengaku menjadi “Menteri Semua Agama” dan sekarang telah berubah menjadi “Menteri Agama Untuk NU”.

***

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *