Rumah Sakit Ugal-Ugalan dalam memvonis pasien yang meninggal

Jakarta, – Pada hari Jumat tanggal 25 September 2020 pukul 18:15 saya pergi ke RS terdekat yaitu RSIJ Pondok kopi, sampai disana saya dan Ayah memasuki IGD yang mana bertujuan agar mendapatkan pelayanan cepat karena situasi pun darurat pada saat itu. Sambil menunggu penanganan saya pun mengurus adminitrasi yang mana RS tersebut sangat lama sekali dalam penanganan pasien, sekitar pukul 18:25-22:15 WIB dan ini pun belum termasuk RAPID TES serta mengurus kamar pasien.


Akhirnya saya sempat protes kepada pihak RS untuk menanggani pasien darurat terlebih dahulu sembari menunggu adminitrasi yang sedang diurus dari hasil penyampaian saya akhirnya pasien pun ditangani dengan oksigen dan impusan. Pukul 22;30 adminitrasi awal pun selesai dan dilanjutkan dengan berdialog oleh Suster :
Suster : Bapak untuk adminitrasi tahap awal sudah selesai selanjutnya ada tes RAPID pak, yang mana tes RAPID ini tidak di tanggung BPJS, maka jika pasien ingin masuk kamar maka harus di tes RAPID terlebih dahulu agar kami tau bapak bisa di tempatkan dimana?
Saya : yasudah kalo begitu mengikuti anjuran RS saja ( sambil menuju Laboratorium Untuk mengurus Adminitrasi RAPID TES )
Setelah Adminitrasi selesai saya berdialog dengan penjaga loket Laboratorium :
Saya : Permisi, saya mau Tanya untuk untuk batas masa aktif surat hasil RAPID TES itu sampe berapa hari ya?
Pihak Laboratorium : batas berlakunya sampai 14 hari pak
Saya : Pasien ini belum sampai 14 hari dann baru kemarin pulang tanggal 23 september 2020 pukul 17:30 dari RS dan pasca 2 harinya pasien masuk kembali akibat penyakitnya kambuh
Pihak Laboratorium : ( terdiam, sambil menoleh ke belakang )
Saya meninggalkan Laboratorium untuk menuju IGD kembali untuk laporan ke IGD bahwa saya sudah selesai adminitrasi tes RAPID.
Pihak IGD menjawab : yasudah pak ditunggu saja pak hasilnya ya
Sekitar pukul 01:55 WIB dini hari tanggal 26 september 2020 saya dipanggil pleh pihak IGD karena hasil pasien sudah keluar.
Dokter pun menjelaskan “ bahwa hasil dari tes RAPID pasien negative dan hasil ronsenan ternyata paru-paru bapak mengalami gangguan yaitu ada paru-paru yang tertutup oleh putih-putih sedikit sehingga pasien mengalami sesak ” mengapa saya memanggil bapak karena saya ingin meminta persetujuan bahwa pasien harus di tes SWAB agar hasilnya lebih valid lagi pasien lebih condong ke negative atau positif. Dari hasil ronsenan saya cukup tidak menerima karena pasien langsung di vonis Covid, makanya kami ambil SWAB untuk lebih tepatnya lagi. Dan dokter mengatakan “ jikalau pasien ini meninggal walaupun hasil SWABnya belum adaa maka saya sebagai dokter menvonis pasien Covid, karena dilihat dari hasil Ronsenan yang merupakan termasuk sebagai ciri-ciri dari gejala tersebut.


Saya pun Bimbang dengan penawaran dokter, jika pasien tidak dites SWAB maka kami tidak tangani lebih lanjut sedangkan kondisi semakin tidak membaik, akhirnya saya memutuskan iyasudah dok saya mengambil jalan terbaiknya menurut dokter. Dokter pun ngasih penjelasan kembali terkait jika meninggal pasien maka harus mengikuti protokol pemakaman yang mana tidak bisa dibawa pulang, saya pun menandatangani persetujuan karena kondisi pasien yang memburuk dan tidak memikirkan hal-hal lain.
Pada hari sabtu 26 september 2020 pukul 07:55 WIB pasien menghembuskan napas terakhirnya di RSIJ pondok kopi, pihak keluarga dipanggil kembali dan dijeelaskan kembali terkait pasien agar lebih mengerti dan mudah di pahami, dari hasil penjelasan dokter ada dari pihak keluarga yang tidak terima bahwa pasien di vonis Covid dengan melihat gejala sedangkan hasil SWABnya masih menunggu selama kurang lebih 10 hari.
Dokter pun menawarkan kembali “ silakan saja kalo memang dibawa pulang tetapi kami dari RS akan mengeluarkan surat yang menyatakan pasien Covid dan surat tersebut akan berlaku dilingkugan yang mana nantinya nanti pihak lingkungan pun akan menolak mulai dari pemandian sampai pemakaman, kami diskusikan lagi bersama keluarga dan mengambil jalann baiknya dengan keiklasan pihak keluarga maka kami mengikuti anjuran dari pemerintah yaitu tetap mengikuti protokol pemakaman.


Kesimpulan yang dapat diambil :
Bahwa pihak RS sedang mempermainkan angka peningkatan pasien Covid dengan cara Ugal-Ugalan dalam memvonis pasien penyakit biasa yang sudah lama diderita dengan divonisnya pasien Covid
Bahwa dengan adanya wabah Covid RS dijadikan ajang bisnis bagi petinggi rumah sakit yang mana setiap ada yang meninggal RS akan mendapatkan anggaran sebesar Rp. 25 juta untuk RS yang mendapatkan pasien Covid. Maka kalau begitu RS selalu meningkatkan angka kematian untuk pasien dengan memvonis Covid
Hasil SWAB pun masih belum terlihat sampai saat ini tetapi RS sudah memvonis Covid, dari sini kita jadi tau bahwa memang ada tetapi tidak semua orang yang mennggal di RS divonis Covid. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *