Gerakan KOPRI Menangkal Radikalisme

Penulis : Agustini Nurur Rohmah (Aktivis PC PMII Jakarta Pusat)

Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri (KOPRI) merupakan bagian dari badan semi otonom Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang memiliki landasan berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran ahlussunnah wal jamaah (aswaja) an-nahdliyyah.

Hal ini berangkat dari historis KOPRI sebagai bagian dari PMII yang didirikan atas dasar keinginan mahasiswa nahdliyyin untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan dengan basis ideologi ahlussunnah wal jamaah. Dengan landasan aswaja an-nahdliyyah dan disertai watak keislaman yang mendalam dengan citra ke-indonesiaannya yang matang, menjadikan KOPRI berbeda dengan kelompok-kelompok Islam yang lain.

Cara berpikir menurut KOPRI yang berdasarkan refleksi aswaja adalah cara berpikir dialektis yang memadukan antara dalil naqli (doktrin), dalil aqli (rasio) dan dalil waqi’I (empiris). Tidak hanya sekedar cara berpikir, aswaja juga menjadi pedoman cara bersikap serta bertindak. Kedua hal ini dimaknai bahwa KOPRI memandang dunia sebagai realitas yang plural. Sikap moderat dan toleran menjadi spirit utama dalam mengelola pluralitas tersebut. KOPRI juga menolak segala sikap yang mengganggu keanekaragaman atas puralitas yang ada.

Ahlussunnah wal jamaah merupakan istilah yang terdiri dari tiga komponen: ahlun, sunnah dan jamaah. Ahlun secara terminologi memiiki beberapa arti, yaitu keluarga, pengikut atau penduduk. Sunnah secara bahasa berarti jejak dan langkah. Sedangkan secara syar’i artinya jejak yang diridhai oleh Allah, menjadi pijakan dalam agama, dan pernah ditempuh oleh Rasulullah atau orang yang menjadi panutan dalam agama seperti sahabat.

Adapun secara ‘urfy (tradisi) sunnah berarti ajaran yang dilalui oleh seorang panutan dalam agama, seperti nabi atau wali. Kemudian jamaah artinya perkumpulan.

Bacaan Lainnya
ri

Dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haqq dijelskan bahwa makna as-sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama‘ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua).

Hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan arti ahlussunnah wal jama’ah yang termaktub di dalam kitab beliau Ziyadat Ta’liqat:

أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيْ صلى الله عليه وسلم والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ .

“Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.”

Syeikh Abdullah al-Harari (1328-1429 H/1910-2008 M), seorang ulama kontemporer menjelaskan ciri-ciri ahlussunnah wal jamaah  dalam kitab Izhhar al-‘Aqidah al-Sunniyyah bi-Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah yang berbunyi:

لِيُعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ هُمْ جُمْهُوْرُ اْلأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ وَهُمُ الصَّحَابَةُ وَمَنْ تَبِعَهُمْ فِي الْمُعْتَقَدِ اَيْ فِيْ اُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ . . . وَالْجَمَاعَ هُمُ السَّوَادُ اْلاَعْظَمُ.

“Hendaklah diketahui bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad SAW. Mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip akidah. . . Sedangkan al-jama’ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-a’zham) kaum Muslimin.”

Maka, maksud dari ahlussunnah wal jamaah (aswaja) adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderat, keseimbangan dan toleran.

Karakter paham aswaja adalah menjaga kerukunan dan tidak saling mengkafirkan sebagai mana tersurat dalam kitab al-farqu baina al-firaq karya al-Imam Abu Mansur al-Baghdadi: Bab lima, menerangkan tentang penjagaan Allah terhadap Ahlussunnah dari saling mengkafirkan antara sesama mereka. Ahlussunnah tidak saling mengkafirkan antara sesama mereka. Di antara mereka tidak ada perselisihan pendapat yang membawa pada pemutusan hubungan dan pengkafiran. Oleh karena itu, mereka memang golongan al-jama’ah (selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan) yang melaksanakan kebenaran. Allah selalu menjaga kebenaran dan pengikutnya, sehingga mereka tidak terjerumus dalam ketidakharmonisan dan pertentangan..

Masalah aswaja muncul sebagai iterpretasi Hadis Nabi Muhammad yang berbunyi : “Sesunguhnya Bani Israel telah berpecah kepada 72 golongan, manakala umatku pula akan berpecah kepada 73 golongan. Kesemua mereka di neraka kecuali satu golongan saja. (Para sahabat) bertanya : “Siapakah (golongan yang tersebut) Ya Rasulallah? Rasulullah menjawab, “golongan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.” (H.R. Imam At-Turmudzi)

Dari hadits ini, muncul banyak penafsiran tentang golongan yang dimaksud dengan ahlussunnah wal jamaah sehingga banyak bermunculan pemaknaan aswaja versi setiap golongan yang sama-sama menganggap bahwa golongan mereka termasuk golongan aswaja. Akibatnya, definisi aswaja pun beragam, sehingga ada aswaja ala NU, ala Muhammadiyyah, ala Persis, ala al-Irsyad, ala FPI, ala Jamaah tabligh MMI, dan lain-lain. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah karena memang kenyataan membuktikan bahwa ummat Islam pada umumnya terbingkai dalam institusi keormasan dengan ragam symbol yang membedakan antara satu dengan lainnya khususnya pada dakwahnya. Namun, meski demikian setiap golongan tetap memiliki pedoman dasar masin-masing.

Aswaja ala NU menjadi beda dengan kelompok Islam yang lainnya karena mampu mengembangkan kerangka pemahaman aswaja yang memiliki karakteristik khusus yaitu ajaran aswaja yang berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, fiqh, dan tasawwuf. Di bidang aqidah, model yang diikuti adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Mansur Al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembangkan empat imam madzhab (aimmat al-madzahib a-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi,Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Sedangkan di bidang tasawwuf mengikuti model yan dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.

Terdapat beberapa karakteristik dasar dari kerangka pemahaman ahlussunnah wal jamaah yang telah dirumuskan oleh salafussalih dengan khasais doktrin aswaja an-nahdliyyah sebagai berikut:

  1. Fikrah tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagia persoalan.
  2. Fikrah tasamuhiyyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Uama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara berpikir dan budayanya berbeda.
  3. Fikrah Ishlahiyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa a-ashlah).
  4. Fikrah tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdaltul Ulama senantiasa melakukan kontekstuaisasi dalam merespon berbagai persoalan.
  5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodoogis) artinya Nahdaltul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.

Dalam pemahaman keagamaan terhadap aswaja,  KOPRI mengikuti pola/model ulama madzhab. Ada dua pola bermadzhab yang dikembangkan dan dianut oleh KOPRI yaitu bermadzhab secara qauli (tekstual) dan  mahaji (dimensi metodologis/istinbath). Dengan formulasi pemahaman ini bukan berarti KOPRI puas dengan situasi jumud/ stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan oleh kelompok “Islam Modernis”. Ide dasar pelestarianmadzhab oleh KOPRI justru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran Islam itu sendiri.

Melihat realita yang ada saat ini, penyebaran paham radikalisme semakin masif dan mulai menghegemoni kampus-kampus di seuruh Indonesia. Tentu hal ini menjadi keresahan bersama khususnya bagi KOPRI sebagai organisasi dengan ideologi aswaja an-nahdliyah yang memiliki watak keislaman yang moderat.

Pertumbuhan dan perkembangan paham radikalisme itu menuai respon yang beragam dari berbagai pihak. Ada yang memberikan respons positif dengan mendukung, ada yang memberi respon reaktif-emosional, ada yang memberikan respon kreatif, bahkan ada yang merespon secara anarkis. Namun, sejauh ini respon yang diberikan belum membendung, apalagi menghentikan laju pertumbuhan gerakannya. Justru ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah anggota pada berbagai organisasi kemahasiswaan Islam dengan paham radikalisme tersebut.

Fenomena gerakan Islam radikal di Indonesia belakangan ini, pemicunya sangat kompleks, baik secara lokal, nasional maupun global. Menurut Giora Eliraz dalam bukunya Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, gerakan radikalisme merupakan respon terhadap lamban atau bahkan kegagalan proyek modernisasi di dunia Islam. Tidak sedikit umat Islam mengalami kendala teologis, sosiologis dan intelektual dalam menyikapi modernisasi. Akibatnya mereka menjadi marjinal, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, maupun politik. Mereka menuduh ada “konspirasi Barat” sehingga umat Islam tertinggal.

Salah satu ciri paham radikal adalah mudah mengkafirkan. Al-Imam Abu Mansur al-Baghdadi berkata:

وَلَيْسَ فَرِيْقٌ مِنْ فِرَقِ الْمُخَالِفِيْنَ إِلاَّ وَفِيْهِمْ تَكْفِيْرُ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ، وَتَبَرِّىْ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ كَالْخَوَارِجِ وَالرَّوَافِضِ وَالْقَدَرِيَّةِ، حَتَّى اجْتَمَعَ سَبْعَةٌ مِنْهُمْ فِيْ مَجْلِسٍ وَاحِدٍ فَافْتَرَقُوْا عَنْ تَكْفِيْرِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا. (الإمام ابو منصور البغدادي، الفرق بين الفرق، 282).

“Tidak ada satu golongan di antara golongan-golongan sempalan, kecuali di antara mereka terjadi sikap saling mengkafirkan dan memutus hubungan, seperti aliran Khawarij, Syiah dan Qadariyah (Mu’tazilah). Sehingga pernah suatu ketika, tujuh orang dari mereka berkumpul dalam satu majlis, lalu mereka berbeda pendapat dan mereka berpisah dengan saling mengkafirkan antara yang satu dengan yang lain.”

Karakter paham radikal antara lain:

  1. Memiliki persamaan dengan karakter kelompok fundamentalis
  2. Radikal : menganggap kehidupan Islam dan sistem kenegaraan yang telah ada di dunia muslim sebagai penyimpangan, dan harus diubah dengan cara yang mendasar.
  3. Pro-kekerasan : kondisi yang menyimpang harus diluruskan baik dengan jalan dakwah maupun jalan jihad (perang).
  4. Fanatik-militan : meyakini dengan mutlak bahwa ajarannya sendiri sebagai kebenaran tunggal yang harus disebarluaskan dengan jalan apapun.
  5. Anti-Barat : Barat dipersepsikan sebagai “biang kerok” hancurnya sistem kehidupan yang Islami baik budayanya, intelektualnya, ekonominya, maupun sistem politiknya.
  6. Politis : meyakini bahwa kekuasaan politik negara harus diraih karena merupakan kewajiban agama. Mereka yang tidak menerapkan Negara Islam adalah kafir dan boleh dibunuh meskpun orang Islam.
  7. Tatharruf : menempatkan yang sunnah sebagai wajib, menjadikan yang furu’ sebagai ushul, mengubah yang profan sebagai sakral.

Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pernah berpesan : “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.”

Ada dua agenda besar yang direncanakan oleh kelompok radikal di Indoneisa. Pertama, Merobohkan NKRI dan anti Pancasila. Menjadikan Islam sebagai entitas politik. Islam difahami, dipersepsikan dan dipakai sebagai ideologi politik untuk membentuk sistem negara yakni negara Islam (al-daulah al-Islamiyyah) atau Khilafah Islamiyah versi mereka sendiri. Kedua, Menerapkan ajaran Islam dalam masyarakat menurut versi mereka. Perempuan harus memakai cadar, pemisahan yang ketat antara laki-laki-perempuan, laki-laki harus memakai jenggot, celana ngatung dan gamis. Tanpa menerapkan hal tersebut, masyarakat  dianggap jahiliyah.

Melihat fenomena di atas, maka KOPRI sebagai organisasi yang beridelogikan Pancasila dan berasaskan  aswaja an-nahdliyah mempunyai tugas penting untuk menagkal radikalisme dan menyebarkan moderasi Islam. KOPRI bertugas menghidupkan kembali nilai-nilai Islam ala aswaja an-nahdliyah khususnya di lingkungan kampus. Agar paham radikalisme tidak semakin massif menancapkan akar radikalismenya di kampus, maka KOPRI harus mempunyai strategi gerakan menangkal radikalisme yang aktif dan kreatif.

Salah satu strategi yang paling efektif untuk menangkal paham radikalisme adalah dengan keteladanan dari kader KOPRI itu sendiri. Artinya, kader KOPRI harus mampu menjadi role model/uswatun hasanah khususnya bagi mahasiswa di lingkungan kampus. Kader KOPRI harus mengembangkan kemampuan diri dan pemahamannya perihal aswaja an-nahdliyah. Dari internal KOPRI sendiri harus sudah tuntas perihal penanaman prinsip-prinsip dasar ajaran aswaja an-nahdliyah. Dengan begitu kader KOPRI mampu dengan mudah berinteraksi dengan mahasiswa dan mengaktualisasikan paham aswaja kepada mahasiswa yang ada di sekitarnya.

Kemudian, kader KOPRI juga harus secara aktif dan massif mensosialisasikan Islam toleran dan paham kebangsaan baik melalui kajian maupun media sosial.  Beberapa hal yang perlu disosialisasikan sebagai counter attack terhadap paham radikaisme diantaranya :

  1. Mengubah ber-Islam “versi pendek” (instant) menjadi ber-Islam “versi panjang” (ilmiyyah-manhajiyyah).
  1. Meneguhkan prinsip tasamuh, tawazun, I’tidal
  2. Mereposisi pengertian jihad.
  3. Mensosialisasikan rumusan tentang pilar-pilar kenegaraan : Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan.
  4. Mengangkat kembali ajaran (ayat-ayat dan hadits-hadits) tentang peace and harmony.

Menjalin kerjasama dengan organisasi alumni pondok pesantren juga bisa menjadi stragtegi yang baik untuk menangkal radikalisme dan menyebarkan paham aswaja an-nahdliyyah. Sebagaimana diketahui bersama, penanaman paham aswaja di ranah pesantren tidak perlu diragukan lagi. Para santri di pesantren dididik untuk memahami bagaimana cara berpikir, bersikap dan bertindak dengan berlandaskan aswaja an-nahdliyah yang tetap mempertahankan karakter kebangsaan. Hal ini tentu sejalan dengan tujuan KOPRI untuk menangka radikalisme. Dengan mengadakan kegiatan bersama alumni pesantren tidak hanya mempererat tali siaturrahim, namun KOPRI juga mampu berperan mengcaunter masifnya penanaman paham radikal.

Yang tidak kalah penting adalah KOPRI juga harus aktif dan rutin mengadakan kajian-kajian keagamaan baik di bidang aqidah, fiqih, hingga tasawuf. KOPRI harus mampu memberikan penjelasan misalnya di bidang aqidah tentang bagaimana bertauhid secara benar yang sesuai ajaran aswaja dengan menjadikan nas sebagai dasar hukum dan menggunakan metode ta’wil jika terdapat kontra-diksi antar-nas. Sehingga mahasiswa meyakini bahwa aqidah aswaja ala nahdliyin adalah aqidah yang paling tepat untuk diyakini.

Apabila beberapa hal di atas mampu dilakukan oleh kader-kader KOPRI, maka tidak menutup kemungkinan KOPRI mampu mereduksi bahkan menghentikan penyebaran paham radikalisme. Semua itu tentu tidak mudah untuk dilakukan. Perlu menata kembali niat dan ghirah dakwah kader-kader KOPRI untuk bersama-sama menangkal radikalisme dan menghidupkan ajaran aswaja an-nahdliyah. Rancangan ide harus jelas. KOPRI harus memiliki rencana jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian KOPRI harus melakukan aksi tepat dan relevan dengan perkembangan zaman. Evaluai secara berkala juga penting dilakukan untuk mengupgrade kualitas pergerakan KOPRI sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *